PLAGIARISME BERITA
Plagiarisme dicermati sangat merugikan, bagi yg dijiplak karyanya, juga bagi orang yg menjiplak. Wartawan tentu saja sangat dilarang melakukan plagiarisme. Bahkan, plagiarisme sanggup dikatakan menjadi suatu bentuk ’maksiat’ pada global jurnalistik. Sebaliknya, dia wajib menjaga eksklusivitas & orisinalitas laporannya. Wartawan tidak sekadar menulis, dia wajib menulis menggunakan memakai hati nuraninya sendiri, jernih, & amanah. apabila dia telah menjiplak karya atau bisnis orang lain, berarti dia telah tidak idealis lagi, kredibilitasnya akan merosot jatuh. Selain itu, plagiarisme pula bertentangan menggunakan elemen jurnalisme yg pertama, yaitu: kewajiban pertama wartawan merupakan pada kebenaran.apabila wartawan menjadi pemegang mandat warga saja telah berlaku tidak amanah, bagaimana warga sanggup menerima kabar & kabar yg mereka butuhkan? Ketika seseorang wartawan kedapatan melakukan plagiarisme, benar-benar tidak terbayangkan sangsi yg akan dia terima. Pertama, dia sanggup dibawa ke meja hijau sang orang yg dia jiplak karyanya. Tentu saja, negara kita ini negara aturan, & telah terdapat undang-undang tentang proteksi hak cipta. Hukuman yg mengancam pula nir main-main. Plagiatisme adalah galat satu tindakan pelanggaran hukum pers. Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het strafrecht”, Mr. D. Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa: “Delik Pers merupakan pernyataan pikiran & perasaan yg bisa dijatuhi pidana yg buat solusinya membutuhkan publikasi pers. Dalam kitab “Rambu-rambu pada Sekitar Profesi Wartawan”, Krisna Harahap mengungkapkan 3 kriteria buat pelanggaran hukum pers: 1. Harus dilakukan menggunakan barang cetakan atau cetakan 2. Perbuatan yg dieksekusi pidana wajib terdiri atas pernyataan pikiran & perasaan 3. Dari rumusan pelanggaran hukum wajib ternyata bahwa publikasi adalah suatu kondisi buat menyebabkan suatu kejahatan, bila kejahatan tersebut dilakukan menggunakan suatu goresan pena Kedua, & yg paling berbahaya, sanggup dipastikan dia akan kehilangan agama berdasarkan redaksi, pembaca, semuanya. Kemungkinan akbar dia akan dipecat berdasarkan tempat kerja kabar loka dia bekerja, bahkan sanggup jadi dia akan kesulitan menemukan pekerjaan baru. Kalau kita telah berbohong, niscaya membutuhkan ketika yg sangat lama bagi orang lain buat balik mempercayai kita.
Atau bahkan nir sama sekali. Salah satu surat berita ternama pada Amerika Serikat, The New York Times, bahkan pada kode etiknya, “menempatkan plagiarisme menjadi dosa yg nir sanggup dimaafkan.” The New York Times tidak akan segan-segan memecat wartawannya yg kedapatan melakukan plagiarisme. Salah satu model perkara plagiarisme fatal yg lalu sebagai kabar akbar pada semua global merupakan saat The New York Times memecat Jayson Blair, seseorang jurnalis muda. Blair menulis mengenai kisah famili Jessica Lynch, seseorang tentara Amerika yg ditawan pada Irak. Laporan Blair itu dicurigai San Antonio Express-News, yg menuduh Balir sudah melakukan plagiarisme. Pihak The New York Times merespons kecurigaan tersebut, menggunakan mulai mempelajari keaslian laporan Blair. Mereka lalu menemukan kabar bahwa Blair sendiri bahkan tidak pernah herbi famili Lynch, belum pernah tiba ke kota pada mana famili Lynch tinggal, & bahkan belum pernah menghubungi mereka lewat telepon! Lalu bagaimana Blair sanggup menciptakan kisah yg begitu menarik tentang famili Lynch? Ia tidak pernah mengenal mereka! The New York Times pun akhirnya menyimpulkan bahwa Blair sudah melakukan plagiarisme. Dan sinkron menggunakan kode etik yg berlaku pada forum pers tersebut, Blair akhirnya dipecat lantaran dipercaya tidak layak lagi sebagai wartawan Times lagi. Dengan terungkapnya perkara plagiarisme ini, Howell Raines selaku pemimpin redaksi dan Gerald Boyd selaku redaktur pelaksana turut mengundurkan diri. (diambil berdasarkan artikel Agus Sopian berjudul Etika Jurnalisme). William L. Rivers pada kitab “Etika-etika Media Massa & Kecenderungan buat Melanggarnya” mengemukakan, bahwa banyak sekali kode sudah dipakai media, periklanan & interaksi warga . Kode media pada apendiks adalah definisi yg dibentuk industri tentang apa yg menciptakan sesuatu sebagai norma baik atau buruk. Deborah Shannon menuliskan analisis kode ASNE (American Society of Newspaper Editors), kode yg dipengaruhi sang Masyarakat Jurnalis Profesional-Sigma Delta Chi, & kode Washington Post. Kode ASNE (American Society of Newspaper Editors) menyatakan bahwa wartawan wajib “menghindari berdasarkan ketidakpantasan & keluarnya ketidakpantasan” & wajib “nir mendapat apa-apa juga mengejar aktivitas apa pun yg bisa merugikan kompromi atau sepertinya mengompromikan integritas mereka”. Sulit dikatakan tindakan apa yg wajib dilakukan reporter buat sanggup dipercaya etis. Banyak kode berdasarkan ASNE menengahi banyak sekali perseteruan luar, yaitu antara tokoh kabar & global. Kode ASNE menegaskan bahwa kekeliruan kabar atau kealpaan wajib dikoreksi segera. Pasal V menyerukan perilaku nir memihak. Pasal ini mengakui perlunya kadang-kadang goresan pena analisis yg menurut latar belakang penulis & pandangan yg terdidik. Kode ASNE berkata bahwa wartawan wajib menghormati hak-hak orang-orang pada pada kabar, khususnya asal kabar. Menghormati asal kabar galat satunya merupakan menggunakan mencantumkan bukti diri mereka selesainya pernyataannya. Banyak model penulis yg melakukan plagiarisme, & hal itu benar-benar nir sanggup ditolerir. Misalnya, James A. Mackay, seseorang pakar sejarah Skotlandia, dipaksa menarik balik seluruh kitab biografi Alexander Graham Bell yg ditulisnya dalam 1998. Hal ini dilakukan lantaran dia kedapatan menyalin berdasarkan sebuah kitab terbitan tahun 1973. Ia pula dituduh memplagiat biografi Mary Queen of Scots, Andrew Carnegie, & Sir William Wallace. Pada 1999 dia wajib menarik kitab biografi John Paul Jones output tulisannya menggunakan alasan yg sama. Bahkan penulis-penulis populer misalnya Dan Brown, yg melejit lewat The Da Vinci Code, dituntut lantaran sudah dituduh melakukan plagiarisme dua kali. Novel pertama Kaavya Viswanathan How Opal Mehta Got Kissed, Got Wild and Got a Life, dilaporkan mengandung jiplakan berdasarkan setidaknya 5 novel lain. Semua bukunya ditarik berdasarkan peredaran, kontraknya menggunakan Little Brown and Co. ditarik, & sebuah kontrak film menggunakan Dreamworks SKG dibatalkan. Hal ini benar-benar memalukan, bukan? Ketika seseorang penulis yg “menggunakan pede-nya” memublikasikan kitab yg dianggap menjadi output karyanya, tetapi datang-datang terungkap bahwa itu merupakan output plagiarisme. (Wikipedia) Apalagi pada profesi jurnalistik yg kentara-kentara menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran & kejujuran, para jurnalis bersuara bundar menentang plagiarisme. Hal ini pula tertulis kentara pada Kode Etik Jurnalistik, baik yg pertama kali dimuntahkan PWI juga Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yg disepakati semua wartawan Indonesia. Berkaitan menggunakan kejujuran & plagiarisme, Kode Etik Jurnalistik berdasarkan PWI diantaranya menyatakan: 1. Berita diperoleh menggunakan cara yg amanah. Wartawan selalu menyatakan identitasnya bila sedang melakukan tugas peliputan 2. Dengan amanah menyebut sumbernya pada mengutip kabar atau goresan pena berdasarkan suatu surat berita atau penerbitan, buat kesetiakawanan profesi Atau lebih tepatnya pada pasal 13 KEJ tertulis: “Wartawan Indonesia nir melakukan tindakan plagiat, nir mengutip kabar, goresan pena, atau gambar tanpa menyebut sumbernya.” Pasal ini ditafsirkan sang Krisna Harahap, bahwa mengutip kabar, goresan pena, atau gambar output karya pihak lain tanpa menyebut sumbernya adalah tindakan plagiat. Krisna menambahkan plagiat menjadi “tercela & dihentikan”. Kode Etik Wartawan Indonesia pula tetapkan hal senada: “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, nir mencampurkan kabar menggunakan opini, berimbang, & selalu meneliti kebenaran kabar dan nir melakukan plagiat.” Jurnalisme nir mempunyai aturan-aturan tertentu, tidak terdapat peraturan, tidak terdapat surat izin, sangat berpotensi buat melakukan eksploitasi, maka beban berat terletak dalam etika & evaluasi berdasarkan wartawan & organisasi loka wartawan itu bekerja. Jurnalisme merupakan kasus karakter. Wartawan punya kewajiban & tanggung jawab buat menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka. Termasuk buat menyampaikan nir pada kebohongan, pada tindak plagiarisme. Dimana pun, & hingga kapan pun, yg namanya kebohongan sanggup Mengganggu agama orang lain terhadap kita. Apalagi umumnya sekali kita berbohong, maka kita akan berusaha menutupinya menggunakan kebohongan lain. Kalau telah begini, profesionalitas & moralitas seseorang wartawan patut dipertanyakan. Seperti dikemukakan Asep Syamsul M. Romli pada kitab Jurnalistik Terapan tersebut, kode etik wajib sebagai landasan moral atau etika profesi yg sanggup sebagai panduan operasional pada menegakkan integritas & profesionalitas wartawan. Dalam hal kejujuran ini, pada global jurnalistik dikenal Fairness Doctrine (Doktrin Kejujuran). Doktrin itu mengajarkan perlakuan adil terhadap objek kabar. Selain itu, menerima kabar yg sahih (faktualitas) jauh lebih krusial daripada sekadar sebagai wartawan pertama yg melaporkannya (aktualitas). Kebenaran, kebenaran, & kebenaran. Ya, lantaran inti aktivitas jurnalistik merupakan kebenaran. Bill Kovach pada Sembilan Elemen Jurnalisme membahas mengenai aturan transparansi wartawan yg berkenaan menggunakan cara wartawan berurusan menggunakan asal-asal mereka. Menurutnya, telah niscaya wartawan nir boleh berbohong atau menyesatkan asal-asal mereka pada proses mencari & membicarakan kebenaran pada publik. Ia pula mengemukakan tentang orisinalitas yg dipandangnya menjadi nilai yg tertanam kuat pada jurnalisme. Michael Oreskes, ketua biro Washington New York Times, menunjukkan pandangan baru sederhana akan tetapi disiplin pada pengejaran kebenaran: Kerjakan tugasmu sendiri. Pernyataan ini relatif kentara pada menentang plagiarisme. Oreskes pula menambahkan, “Orang yg bertindak sahih merupakan mereka yg melakukan sendiri pekerjaannya, yg berhati-hati tentangnya, yg mengikuti baku dasar mengenai asal, & menerima kabar berdasarkan banyak sekali asal. Orang yg cemas tenatng apa yg terdapat pada luar sana memakai frasa yg mengerikan itu buat membenarkan begitu poly dosa jurnalistik, orang yg cemas akan kalah. Bukannya mencoba melakukan sebaik & secepat yg mereka sanggup, mereka malah mengacaukannya.” Begitu istilah Oreskes misalnya dikutip berdasarkan Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach.